Iklan Disini

Pendidikan belum Sinergi dengan Syariat

Senin, 02 September 2013

 

BANDA ACEH - Pendidikan di Aceh saat ini belum mampu memposisikan diri sebagai bagian terpenting dan berjalan secara sinergi dari penegakkan syariat Islam di Aceh. Hal itu pula yang mengakibatkan pelaksanaan syariat belum mampu berjalan sesuai harapan yang dicita-citakan.
Demikian dikatakan, Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Teuku Zulkhairi, MA, Minggu (1/9) terkait momentum peringatah Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) Aceh yang jatuh 2 September hari  ini. Alumnus Magister Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, ini juga mengatakan, buku bahan ajar anak didik di sekolah, ruang yang mengupas konteks dan nilai-nilai lokal Aceh tidak mendapatkan tempat yang memadai. “Buku-buku bahan ajar di sekolah-sekolah belum mengintegrasikan nilai-nilai Islam. ini adalah efek ketika semua bahan ajar di sekolah kita, dari yang mata pelajaran umum hingga mata pelajaran agama di impor dari luar Aceh,” ujarnya.
Meski menurutnya, bukan salah secara total memang mengimpor buku-buku bahan ajar dari luar, namun yang jelas buku-buku bahan ajar imporan tersebut ditulis untuk standar nasional sehingga tidak mungkin penerbit-penerbit tersebut memberikan ruang yang lebih besar bagi materi-materi yang akan membantu Aceh dalam penerapan syariat Islam.
Menurut Teuku Zulkhairi, proses pembelajaran di Aceh memiliki orientasi yang berbeda dari provinsi lainnya di Nusantara. Qanun Pendidikan Aceh tahun 2008 Bab II Pasal 2 poin (a dan h) menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan pendidikan di Aceh adalah keislaman; dan karakteristik Aceh. Sementara Bab III Pasal 5 tentang “Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan” menyebutkan bahwa  “Sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai Islami”.
Dalam kaitan Hardikda, Teuku Zulkhairi juga mengkritisi pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang ternyata juga tidak memberikan perhatian yang ekstra bagi pengembangan pendidikan dayah yang terus terpinggirkan. Menurutnya, plot anggaran untuk dayah hanya sebesar Rp 25,9 miliar, dan trendnya terus menurun sejak awal pembentukan lembaga tersebut.
“Ini tentu sangat ironis. Di sisi lain, di bawah kepemimpinan baru Aceh, beasiswa untuk teungku dayah tidak ada lagi, sebagaimana hasil perjumpaan kami dengan kepala LPSDMA, Dr Bukhari Daud beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Ia membandingkan program pengadaan buku di Dinas Pendidikan anggarannya mencapai Rp 100 miliar lebih. Padahal, DIPA Aceh tahun anggaran 2013 ini adalah yang terbesar dalam sejarah APBA seperti diberitakan Serambi beberapa waktu lalu. Secara yuridis, katanya, plot 20% anggaran untuk pendidikan bukan hanya untuk pendidikan umum saja lewat Dinas Pendidikan, akan tetapi juga untuk pendidikan dayah lewat Badan Dayah, seperti diamanahkan UUPA dan Qanun Pendidikan Aceh. Apalagi, fakta membuktikan bahwa dayah adalah benteng terakhir penegakan syariat Islam di Aceh
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Editor | Kerja Sama
Copyright © 2011. Bangun Aceh - All Rights Reserved
Template Created by Editor Inspired by Spot
Proudly powered by Blogger