BANDA ACEH - Pendidikan di Aceh saat ini belum mampu memposisikan
diri sebagai bagian terpenting dan berjalan secara sinergi dari
penegakkan syariat Islam di Aceh. Hal itu pula yang mengakibatkan
pelaksanaan syariat belum mampu berjalan sesuai harapan yang
dicita-citakan.
Demikian dikatakan, Ketua Departemen Riset
Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Teuku Zulkhairi, MA, Minggu (1/9) terkait
momentum peringatah Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) Aceh yang jatuh 2
September hari ini. Alumnus Magister Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN
Ar-Raniry, ini juga mengatakan, buku bahan ajar anak didik di sekolah,
ruang yang mengupas konteks dan nilai-nilai lokal Aceh tidak mendapatkan
tempat yang memadai. “Buku-buku bahan ajar di sekolah-sekolah belum
mengintegrasikan nilai-nilai Islam. ini adalah efek ketika semua bahan
ajar di sekolah kita, dari yang mata pelajaran umum hingga mata
pelajaran agama di impor dari luar Aceh,” ujarnya.
Meski
menurutnya, bukan salah secara total memang mengimpor buku-buku bahan
ajar dari luar, namun yang jelas buku-buku bahan ajar imporan tersebut
ditulis untuk standar nasional sehingga tidak mungkin penerbit-penerbit
tersebut memberikan ruang yang lebih besar bagi materi-materi yang akan
membantu Aceh dalam penerapan syariat Islam.
Menurut Teuku
Zulkhairi, proses pembelajaran di Aceh memiliki orientasi yang berbeda
dari provinsi lainnya di Nusantara. Qanun Pendidikan Aceh tahun 2008 Bab
II Pasal 2 poin (a dan h) menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan pendidikan
di Aceh adalah keislaman; dan karakteristik Aceh. Sementara Bab III
Pasal 5 tentang “Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan” menyebutkan bahwa
“Sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai Islami”.
Dalam
kaitan Hardikda, Teuku Zulkhairi juga mengkritisi pemerintah Aceh di
bawah kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang ternyata juga
tidak memberikan perhatian yang ekstra bagi pengembangan pendidikan
dayah yang terus terpinggirkan. Menurutnya, plot anggaran untuk dayah
hanya sebesar Rp 25,9 miliar, dan trendnya terus menurun sejak awal
pembentukan lembaga tersebut.
“Ini tentu sangat ironis. Di sisi
lain, di bawah kepemimpinan baru Aceh, beasiswa untuk teungku dayah
tidak ada lagi, sebagaimana hasil perjumpaan kami dengan kepala LPSDMA,
Dr Bukhari Daud beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Ia membandingkan
program pengadaan buku di Dinas Pendidikan anggarannya mencapai Rp 100
miliar lebih. Padahal, DIPA Aceh tahun anggaran 2013 ini adalah yang
terbesar dalam sejarah APBA seperti diberitakan Serambi beberapa waktu
lalu. Secara yuridis, katanya, plot 20% anggaran untuk pendidikan bukan hanya untuk pendidikan umum saja lewat Dinas Pendidikan, akan tetapi juga untuk pendidikan
dayah lewat Badan Dayah, seperti diamanahkan UUPA dan Qanun Pendidikan
Aceh. Apalagi, fakta membuktikan bahwa dayah adalah benteng terakhir
penegakan syariat Islam di Aceh
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !